"Kernet dan sopir angkot."
Demikian Mas Tasch-nama panggilanku untuk sang penulis buku ini-menyebut dirinya di Kompasiana dulu. Seniman serba bisa ini tentu saja bukan sedang merendahkan diri apalagi merendahkan profesi. Beliau menyebut dirinya 'kernet' dan 'supir angkot' tanpa tendensi apa pun.
Jadi, mengapa judul buku ini Prosa Kopi Esai dari Pinggiran?
Kalau Pembaca yang Budiman pernah mengikuti kisah perjalanan Teater Koma tempat beliau ditempa dan menempa karsa, mungkin kalian bisa paham, bahwa yang disebut pinggiran itu tak selalu berada di pinggir. Bisa berada di tengah. Bahkan di puncak.
Dulu musik dangdut dihinadinakan. Musik pinggiran kampungan. Kini diperlombakan sampai tingkat ASEAN dan menembus pasar antarbangsa. Seni grafiti yang dulu tak lebih dari ulah vandalisme anarkis, kini sejajar dengan mural Romawi. Dan meski mungkin dicap kriminal, tapi sebagai seni berkelas. Contohnya Banksy.
Jadi, apa makna pinggiran? Pinggiran itu keliling terpanjang dari suatu bidang. Yang mengepung wilayah yang dipetakan. Tanpa pinggiran, tak ada batas. Isi tercerai berai.
Aku tidak ingin seni dipetak-petak, terkungkung dalam garis demarkasi yang ditetapkan pasar. Jika Pembaca yang Budiman bertanya bagaimana sebagai redaktur penerbit menentukan isi buku ini dimasukkan ke dalam genre apa, jawabanku: "Aku yang meng-kurasi buku ini. Tak peduli genrenya apa."
Untuk Pembaca Budiman ketahui, aku bilang ke Mas Tasch: "Mas Tasch tulis, aku yang terbitkan."
Isi buku ini adalah jus herbal yang menguatkan imun nasionalisme terhadap serangan virus globalisasi. Yang berbeda dengan junk food yang kita santap setiap hari.
Aku tahu Mas Tasch bukan kernet atau sopir angkot. Namun aku tidak berkeinginan membantah. Kita berhak menjadi siapa yang kita mau selama itu membawa manfaat.
Termasuk jadi tukang bakso menantu petinggi partai yang mengaku partai orang pinggiran. (Ini satire).
Jadi, di mana pinggiran seni? Hati Anda, Pembaca Budiman, yang menentukan.